Senin, 08 Oktober 2012

kontroversi pembukaan uud

Media Indonesia, Rabu, 29 Mei 2002 PRESIDEN Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR M Amien Rais, para purnawirawan TNI, dan sejumlah pengamat menyatakan dengan tegas bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak termasuk dalam proses amendemen. Mereka menyatakan hal ini sebagai harga mati. Israr dalam tulisannya di Media Indonesia (27/5) telah meringkas argumen harga mati ini: dapat membuka luka lama perdebatan ideologi negara, dapat membubarkan negara, dan dalam sejarah Pembukaan UUD 1945 tersebut tidak pernah diganti. Sayangnya, ketiga argumen ini selalu diterima begitu saja tanpa diuji dengan sikap kritis. Ketetapan MPRS No XX/MPRS/1966 menyatakan bahwa 'Mengubah isi Pembukaan berarti pembubaran negara'. Sebelum diajukan kritik terhadap teori Hans Kelsen yang melatarbelakangi pernyataan ini, perlu diberikan catatan bahwa Tap MPRS 1966 tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Tap MPR No III/MPR/2000. Dasar hukum terakhir ini sama sekali tidak mencantumkan pernyataan 'harga mati' Pembukaan UUD 1945. Sayang, masih banyak yang merujuk pada sebuah ketentuan hukum yang telah dicabut tersebut. Namun, apakah benar Pembukaan UUD 1945 tidak pernah berubah? Sejarah ketatanegaraan kita justru menunjukkan sebaliknya. UUD 1945, UUD RIS, dan UUDS 1950 masing-masing memiliki pembukaan atau mukadimah sendiri-sendiri. Ini jelas berbeda dengan klaim sebagian pihak. Dengan melihat Keppres RIS No 48, 31 Januari 1950, yang tercantum dalam Lembaran Negara 50-3 dan diumumkan 6 Februari 1950, dan UU No 7/1950 kita akan terkejut mendapati fakta sejarah bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak digunakan dalam UUD RIS dan UUDS 1950. Sejarah juga menampilkan fakta yang menarik mengenai kalimat 'Atas berkat rahmat Allah' di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Disebutkan dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan Sekneg RI (cetakan pertama, edisi ketiga, 1995, hlm 419-420) bahwa I Gusti Ktut Pudja pada sidang pertama 18 Agustus 1945 berkata 'Ayat 3 atas berkat rahmat Allah diganti saja dengan 'Tuhan', Tuhan Yang Maha Kuasa'. Soekarno berkata 'Diusulkan supaya perkataan Allah Yang Maha Esa diganti dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian Soekarno membaca teks Pembukaan dan pada awal alinea ketiga ia membaca 'Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa ... dst'. Selesai membaca, Soekarno berkata 'Setuju, tuan-tuan? (suara: setuju). Dengan ini sahlah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.'' Jadi, sebenarnya yang disahkan adalah kalimat 'Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa'. Ini berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 yang kita kenal selama ini. Dalam buku pedoman yang biasanya diedarkan ketika Penataran P4 juga menyebutkan kata Allah; bukan Tuhan. Dalam lampiran buku risalah tersebut ditemukan Berita Repoeblik Indonesia (BRI), penerbitan resmi pemerintah Republik Indonesia, tahoen II No 7 (15 Febroeari 1946). yang mencantumkan 'Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa'. Fakta sejarah perubahan Pembukaan UUD 1945 ini semakin kontroversial ketika buku Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945 (Departemen Penerangan RI, cet III, tanpa tahun hal 11-29), mencantumkan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi 'Atas berkat Rachmat Tuhan Yang Maha Kuasa'. Ini artinya sesuai dengan Berita Repoeblik Indonesia (BRI) 1946 dan berbeda dengan naskah lain yang beredar selama ini. Naskah manakah yang benar dan sejak kapan negara kita menjadi bubar karena perubahan ini? Perubahan kata Allah dan Tuhan secara teologis bisa diperdebatkan maknanya. Namun, dalam konteks hukum tata negara perubahan ini menunjukkan bahwa disadari atau tidak, Pembukaan UUD 1945 sudah mengalami perubahan dan ternyata negara kita belum juga bubar. Ini membawa kita untuk meninjau argumen filsafat hukum yang mengaitkan Pembukaan UUD 1945 dan bubarnya negara